Kemiskinan, Mengubah Paradigma

Motivasi dan pemahaman warga masyarakat terhadap PNPM Mandiri Perkotaan ibarat rintik hujan. Kadang hadir dengan deras berbarengan gelegar petir, kadang rintik-rintik tipis seperti embun. Faktor penyebab perbedaan pemahaman dan naik turunnya motivasi warga adalah perbedaan visi tentang penanggulangan kemiskinan itu sendiri.

Perbedaan dan permasalahan yang melingkupi pelaksanaan tahapan PNPM Mandiri Perkotaan di masyarakat merupakan dinamaika yang harus disikapi secara arif oleh semua pihak. Perubahan dalam setiap sisi kehidupan tentu akan menimbulkan pro dan kontra serta akan menimbulkan berbagai polemik baru, apalagi perubahan menuju sebuah tatanan baru demi kebaikan maka tingkat permasalahan dan kendalanya akan semakin kompleks.

Di dataran Pemerintah Kota Solo sebagai pihak yang memiliki kewenangan dalam hal regulasi dan kebijakan terhadap PNPM Mandiri Perkotaan terlihat masih ada unsur kepentingan politis dengan dalih; bahwa Pemkot telah memiliki program tersendiri untuk menanggulangi kemiskinan. Hingga dana pendampingpun yang sebesar 50% sebagai prasyarat kesanggupan Pemerintah Kota Solo menerima PNPM Mandiri Perkotaan masih dilakukan tarik ulur dalam bentuk sharing programe berupa; Dana Operasional Posyandu Balita/Lansia, Program Makanan Tambahan Posyandu Balita/Lansia, dan Renovasi Rumah Tidah Layak Huni (RTLH).

Bila ditilik dan dipahami dari kaca mata model penanggulangan kemiskinan yang ditawarkan PNPM Mandiri Perkotaan maka dana pendamping yang berbentuk sharing programe layak dipertanyakan karena: (1) Bersifat Top down bukan Buttom up, sehingga program yang ditawarkan Pemkot belum tentu sesuai kebutuhan masyarakat (2) Sharing programe jelas-jelas tidak sesuai dengan esensi PNPM MP (3) Menutup kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi/ menentukan kebijakan (4) Dana operasionalnya bagaimana?

Pertanyaan lain yang tidak kalah pentingnya adalah pemahaman Pemerintah Kota terhadap PNPM Mandiri Perkotaan itu sendiri, kasus yang terjadi di Kota Solo merupakan bukti bahwa otonomi daerah masih dipahami pemerintah kabupaten/kota sebagai kewenangan absolut tanpa batas dan kompromi, hingga akhirnya terkesan menghasilkan ‘raja-raja’ kecil.

Pemerintah Kota Solo terlihat tidak memberi kesempatan warga untuk menentukan kebutuhannya dan masih memandang warga masyarakat sebagai obyek pembangunan. Ternyata, paradigma lama masih mengakar di daerah walaupun Era Reformasi telah beranjak menuju tahun ke-11. Kondisi inilah yang menjadi penghalang utama bagi penerapan PNPM Mandiri Perkotaan di daerah, sehingga transformasi sosial yang diharapkan menjadi output maksimal PNPM Mandiri Perkotaan nampaknya tidak akan berjalan mulus.

Kondisi serupa juga terjadi di tingkat Basis/RT/RW walau dalam bentuk dan porsi yang berbeda. Masyarakat telah terpola dengan model pembangunan instan sehingga dalam setiap pengambilan keputusan tergesan pragmatis dan cari gampangnya saja.
Sebagi contoh adalah pelaksanaan Pemetaan Swadaya (PS), Pemetaan Swadaya merupakan tahapan dari PNPM Mandiri Perkotaan yang dilakukan oleh warga masyarakat tingkat Basis/RW (Tim PS) dalam rangka menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang kondisi realita yang ada saaat ini dan upaya membangun kesepakatan mengenai kondisi ideal yang ingin dicapai.

Pemetaan Swadaya seyogyanya dilakukan secara menyeluruh (integrated) dan tidak sepotong-sepotong serta melibatkan warga masyarakat, karena PS menjadi dasar atau landasan utama dalam upaya penanganan kemiskinan, sekaligus sebagai blue print bagi Pengurus RT/RW dalam menentukan arah pembangunan warganya. Itu pada dataran ideal, namun pelaksanaan di lapangan ternyata terjadi distorsi yang cukup jauh. Pemetaan Swadaya hanya dipandang sebagai sebuah usulan ‘keinginan’ warga di tingkat Basis/RT/RW bukannya kajian yang terpola sehingga menghasilkan output berupa kebutuhan masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan.

Ironisnya, Pemetaan Swadaya hanya dilakukan Ketua RW secara serampangan dalam waktu tidak lebih dari satu jam. Sehingga lumrah ketika out put kajian tertera usulan pembuatan gapura!

Sosialisasi yang telah dilakukan maupun tahapan-tahapan selanjutnya walau telah dilakukan nampaknya belum memberi pemahaman kepada masyarakat akan hakekat PNPM Mandiri Perkotaan. Konsep Tridaya; Pembelajaran, Kemandirian dan Pembangunan Berkelanjutan belum dipahami masyarakat sebagai sebuah kesatuan yang utuh, masyarakat masih memandang PNPM Mandiri Perkotaan sebagai sebuah program bagi-bagi uang, Jaring Pengaman Sosial (JPS) atau Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk kelompok, tanpa memperhatikan proses maupun kaidah-kaidah yang benar.

Alasan klasik menjadi pembenaran; tidak adanya dana pendamping untuk tingkat Basis! Motor penggerak PNPM Mandiri Perkotaan seperti Pengurus RT/RW, Relawan maupun kelompok peduli merasa keberatan bilamana harus mengumpulkan warga untuk melakukan rembug warga maupun diskusi kelompok (FGD). Karena untuk mengumpulkan warga masyarakat rasanya akan sulit (sungkan) apabila tidak diberi jamuan semisal minuman dan makanan ringan.

Beberapa cara perlu dicoba untuk meluruskan paradigma tersebut, diantaranya melalui; (1) Pembuktian bahwa PNPM Mandiri Perkotaan merupakan sebuah program pemberdayaan masyarakat yang ideal untuk mendorong masyarakat menemu kenali masalahnya dan sekaligus mencari pemecahan permasalahan yang dihadapinya. (2) Informasi lisan maupun melalui media tulisan berupa bulletin Warta Mandiri secara terus menerus, sedikit demi sedikit diharapkan pemahaman tentang PNPM Mandiri Perkotaan dapat tercapai. (3) Melakukan loby-loby dengan pihak-pihak berpengaruh dan tokoh masyarakat di tingkat kelurahan untuk secara bersama-sama mendorong masyarakat turut berpartisipasi dalam penanggulangan kemiskinan.

Kelurahan Jebres dengan penduduk dewasa hampir mencapai 23.000 jiwa yang tersebar di 36 Basis/RW merupakan wilayah kerja yang cukup luas. Bila diasumsikan 15% penduduknya masuk kriteria KK miskin, maka butuh tenaga, swadaya dan waktu yang ekstra untuk menangani masalah kemiskinannya. Permasalahan utama; makin minimnya tingkat kepedulian diantara warga sehingga sikap pragmatis dan individualistis cukup mendominasi sikap kehidupan masyarakat sebagai representasi sikap negatif bangsa Indonesia yaitu sikap hidup yang tidak suka bekerja keras, kecuali kalau terpaksa. Sikap-sikap itu menggambarkan bahwa manusia Indonesia menyenangi hal-hal yang instant dan cari mudahnya saja.

Civil society sebagaimana diidealkan PNPM Mandiri Perkotaan merupakan model pembangunan yang perlu dikembangkan hingga masa mendatang. Untuk itu hendaknya pemahaman dapat diletakkan secara sejajar antara; negara yang kuat dan masyarakat sipil yang kuat pula. Kedua perpaduan itu ibarat sekeping mata uang; sama-sama penting untuk mencapai masyarakat yang sejahtera dalam arti seluas-luasnya.

Negara yang kuat dibutuhkan untuk menumbuhkan efektifitas dan efisiensi performance yang dapat mendorong partisipasi masyarakat, serta bisa menjamin hak-hak asasi manusia, keadilan sosial, dan kepentingan umum lainnya. Sedangkan masyarakat sipil yang kukuh mutlak diperlukan untuk menjadikan masyarakat yang sadar dan well informed, sehingga memahami hak-hak dan tanggung jawabnya, serta akan bertindak sebagai warga negara yang aktif.

Stephen R Covey, penulis buku The Seven Habits for Highly Effective People mangatakan: “Taburlah gagasan; petiklah kebiasaan. Taburlah kebiasaan; petiklah karakter. Taburlah karakter; petiklah hasil!”. Artinya untuk memperoleh hasil maksimal dalam penanggulangan kemiskinan tidak dapat dilakukan secara instant dan serampangan. Dibutuhkan habit (pembiasaan) yang dilakukan berulang-ulang konsisten dan berkesinambungan.

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut

ShareThis

Pambuka


Blog ini ditayangkan untuk mengasah idealisme saya tentang; kebangsaan, kerakyatan, budaya, silaturahmi dan hal-hal kecil yang 'mungkin' sama sekali tidak penting alias ecek-ecek. Sekaligus untuk curah pendapat bagi siapa saja yang sempat mampir. Semoga kearifan lokal tidak dilupakan...
Sumangga katuran pinarak...

Local Blogs
blog